“Yusuf, ceritakan pada saya tentang tim impian yang tadi ada di filmmu?” maka berkisahlah saya sekilas tentang Persija yang para pendukungnya saya abadikan ke sebuah karya dokumenter. Malam itu The Jak baru saja merebut kategori Dokumenter Panjang terbaik di Thessaloniki International Film Festival 2007 dan Theofanis adalah pejabat festival yang menyebut dirinya sebagai fans berat Olympiacos.
Lelaki berkacamata itu hanya sekilah mengetahui Indonesia, ia hanya memahami bahwa sepupunya pernah bertugas di Singapore yang terletak tak jauh dari Indonesia. Ia sama sekali tak tahu bahwa di negeri tempat saya lahir itu Sepakbola begitu dicintai dan dipuja setengah mati. Maka mendongenglah saya kepadanya dan karena kisah-kisah saya
menggambarkan betapa dahsyatnya atmosfer pertandingan di tanah air, tak segan pula saya untuk sekalian saja memanipulasi data bahwa kitalah yang terhebat di Asia Tenggara dan liga kita adalah tujuan banyak pemain papan atas di Asia Tenggara.
menggambarkan betapa dahsyatnya atmosfer pertandingan di tanah air, tak segan pula saya untuk sekalian saja memanipulasi data bahwa kitalah yang terhebat di Asia Tenggara dan liga kita adalah tujuan banyak pemain papan atas di Asia Tenggara.
Saya memang berasal dari negeri yang tak masuk akal. Negeri dengan tanah yang subur namun sama sekali tidak mampu menyejahterakan rakyatnya. Negara agraris yang bahkan lulusan Institut Pertaniannya lebih suka jadi wartawan daripada jadi petani, negeri bergaris pantai terpanjang di dunia program eksplorasi pantai baru dicanangkan beberapa hari lalu……negeri yang lautannya membentang di sana sini namun seumur-umur teman-teman saya yang bapaknya nelayan saja tidak tertarik untuk juga menjadi nelayan. Negeri yang hukum dan keadilan bisa disesuaikan dengan kalimat “Damai aja ya pak,”
Saya takut Theo mati berdiri jika sadar bahwa di negeri saya yang katanya gila bola itu, yang para pendukungnya rela mati atau bahkan tak bawa uang demi timnya itu jumlah pemain profesionalnya sangat sedikit. Bisa jadi juga dia akan jantungan setelah menyaksikan betapa gempitanya dukungan pendukung Persija pada timnya namun tim itu punya lapangan latihan saja tidak….asetnya saja konon hanya beberapa komputer di kantor secretariat. Stadion? Ah saya malas membuat ia berpikir bahwa piala yang saya pegang di tangan itu adalah hasil membuat kisah fiksi bukan dokumenter.
Sepakbola digemari setengah mati di negeri ini. Siaran langsung Sepakbola adalah bentuk pencitraan paling strategis yang dilakukan oleh stasiun-stasiun televisi. Pemandu acara dan komentatornya adalah duta besar stasiun televisi yang bersangkutan. Setiap siaran langsung yang disiarkan tak peduli tayang di jam berapa adalah magnet kuat bagi masyarakat Indonesia untuk rela melek di depan si layar datar.
Namun cuma sampai disitu saja, segala kegilaan itu tak pernah diikuti oleh pencapaian riil di arena sesungguhnya. Bagai juara Winning Eleven yang tak bisa menendang bola, kecintaan kita pada Sepakbola berhenti pada segala bentuk fanatisme—baik yang nyata maupun yang semu—pada permainan ini. Praktis prestasi tertinggi kita hanyalah ajang regional SEA Games yang memang sejak era 1950an selalu sulit kita taklukkan…..anehnya banyak orang merasa bahwa kita adalah macan Asia, padahal masuk Piala Asia saja kita tak pernah di era itu.
Jujur, saya tak yakin bahwa kita sebenarnya memahami apa itu Sepakbola. Sama seperti kita tak bisa memahami lautan yang luas bersama habitatnya serta tanah yang luar biasa subur anugerah Tuhan selama ini. Kita hanya tahu bahwa ada sesuatu yang kuat bernama Sepakbola, seperti kegagalan kita memahami kesuburan tanah di Nusantara, kita juga gagal memahami bahwa kecintaan dan fanatisme pada permainan ini adalah modal besar yang bisa membawa Sepakbola kita kearah manapun yang kita mau.
Kita berhenti pada pujaan orang asing “Negeri Anda punya potensi Sepakbola yang besar,” atau “Suatu hari Indonesia akan menjadi negara yang kuat,” atau “Saya tak pernah melihat bakat sebanyak ini di negara lain selain di Indonesia,” dan segala puja-puji basa basi kancut meong khas imperialis yang bahkan sudah ayah saya dengar saat ia masih bujangan
Jika memang kita hebat, kenapa tak satupun pemain kita bermain di liga atas Eropa, kenapa juga di level Asia saja kita kerap jadi bulan-bulanan dan jika memang kita negeri Sepakbola mengapa menjadi juara Asia Tenggara saja kita cuma bisa mimpi sembari mengisap jempol ini.
Apa iya kita mencintai Sepakbola seperti yang tergambar di keriuhan Stadion-Stadion itu? Apa iya kita ini gila dan memahami permainan itu seperti segala diskusi yang kita ucapkan serta segala kritik yang kita berikan pada aksi-aksi mega bintang dunia di siaran langsungnya yang bisa kita nikmati secara gratis di televisi rumah kita. Apa iya kita negeri Sepakbola?
Saya kok yakin sebenarnya tidak. Kita ini hanyalah bangsa yang kebingungan mencari identitas dirinya, kita ini menggilai Sepakbola dan rela mati karenanya hanya karena kita butuh eskapisme semu akibat kegagalan hidup kita sebagai sebuah negara multi etnis yang dipersatukan oleh sebuah Republik. Jikapun ada yang pandai bermain Sepakbola, bisa jadi itu hanya karena permainan ini memang permainan paling sederhana, dengan jumlah peraturan tersedikit dibandingkan permainan lain….bonus menendang dan berlari adalah insting sederhana manusia.
Tak cukupkah setiap minggu kita menyaksikan Liga Eropa yang megah itu untuk bisa mengopi segala kelebihan mereka ke dalam Sepakbola kita? Atau seapesnya bisa menjadikannya sekedar industri yang bisa menggerakkan unsur ekonomi lainnya yang berujung pada kemenangan tim nasional. Tak cukupkah segala keterbukaan via internet, buku asing yang diimpor atau bahkan kedatangan para bintang Eropa itu kesini untuk dijadikan acuan kemampuan…..dan bukan sekedar ajang tanya jawab dengan pertanyaan standar “Bagaimana menurut Anda Sepakbola Indonesia?” atau “Apakah Anda mau bermain di Indonesia?”
“Sepakbola adalah refleksi sebuah bangsa,” ujar Franz Beckenbauer, salah satu kutipan favorit saya. Bukan karena diucapkan olehnya dari jarak hanya sekitar 5 meter dari saya atau juga bukan karena dikutip juga oleh ebook ini. Kalimat bermakna luas itu betapa menggambarkan ketololan demi ketololan yang menghinggapi bangsa ini. Mulai dari ketidak mampuan mengurus kesuburan alam serta potensi rakyatnya sampai ke bentuk ketololan berjamaah untuk memilih Presiden hanya karena ia korban rejim terdahulu….atau kebodohoan tingkat tinggi untuk percaya seorang pelarian mau kabur ke negara modern penuh shopping mal yang praktis membuatnya menjadi mudah dicari (bahkan di film Hollywood saja seorang pelarian akan menyepi dan menjauh dari keramaian)
Tak usah heran bila kita tak mampu mengurus Sepakbola, jika mengurus negeri indah ini saja tak mampu. Jika menjual pariwisata Timur Indonesia yang luar biasa itu saja tak mampu, jangan heran jika kita lalu tak juga mampu menciptakan industri Sepakbola yang benar, yang bahkan sebenarnya dipahami oleh siapapun…..bahkan oleh seorang Hasby penulis buku ini yang lulus kuliah saja belum.
Apakah benar kita mencintai Sepakbola? Apakah benar kita punya niat baik kepadanya, menjadikannya sumber kebahagiaan dan kebanggaan bangsa? Jika jawabannya iya, saya yakin jikapun bangsa ini harus terus nungging dan tiarap…setidaknya biarkanlah rakyat bisa percaya bahwa setiap empat tahun sekali kita bisa menyaksikan 11 lelaki berlogo Garuda di dadanya itu bermain di ajang tertinggi permainan ini.
Punyakah kita hasrat sebesar itu? Ataukah hasrat itu harus selalu mati dengan cepat oleh kerakusan atas uang dan kebodohan atas makna kata politik?
Sumber : http://andibachtiar.blogdetik.com/2011/07/21/benarkah-kita-memang-mencintai-sepakbola/?query-string
0 coment:
Post a Comment
Jadilah yang pertama untuk berikan komentar yang membangun.